Senin, 31 Januari 2011

MUNCULNYA ELIT POLITIK INDONESIA

MUNCULNYA ELIT MODERN INDONESIA

Karya                          : Robert Van Niel
Tahun terbit                 : 2009
Penerbit                       : Grafika Mardi Yuana, Bogor
Jumlah halaman           : 368 halaman

Secara kronilogis pembahasan tiap babnya meliputi: bab pertama, mengambarkan dasar-dasar kehidupan Hindia Timur pada tahun 1900. Pada bagian ini merupakan batu loncatan, tiga bab berikutnya menguraikan perkembangan sesuai dengan perjalanan waktu ke tahun 1914, ke tahun 1926 dan akhirnya sekitar tahun. Penguraian dan penafsiran pokok dilakukan dan dikembangkan dalam seluruh penulisan sedelmikian rupa, sehingga suatu kesimpulan seolah-olah tidak diperlukan lagi. Setiap bab dibagi-bagi dalam beberapa sub judul. Secara garis besar isi buku dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pada tahun 1990 Pulau Jawa adalah bagian yang paling utama dari kekuasaan kolonial Belanda.dalam masyarakat jawa terdapat tiga klasifikasi opengeompokan dalam masyarakat yaitu: orang Eropa; orang Cina dan Arab; rang Indonesia. Semenjak abad ke Sembilan belas pengawasan atas Pulau Jawa pun mulai di kuasai oleh parlemen Belanda, atau yang di sebut Staten Generaal. Pengawasan secara praktis atas masalah-masalah kolonial berada di tangan Mentri Urusan Jajahan, yang menjadi anggota kabinet pada saat itu, bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya pada Kepada Staten Generaal. Mentri Jajahan menjalankan politik umum kolonial dari pemerintahan. Politik umum pada kolonial ini tidak di rumuskan, semenjak pertengahan abad ke Sembilan belas, berdasarkan suatu pendapat umum yang melalui Staten pergantian kabinet atau parlemen. Menteri jajahan bertanggung jawab untuk menjalankan politik umum sesuai dengan tuntutan-tuntutan kolonial dari partai-partainya dan partai lain yang termasuk kedalam kabinet. Dalam mempermudah tugas tersebut menteri tersebut memiliki kantor urusan jajahan di Den Haag dimana yang memiliki banyak orang yang telah memiliki banyak pengalaman dalam hal jajahan. Mereka dapat dengan mudah mempengaruhi keputusan-keputusan Mentri Jajahan.
Partai-partai politik di Belanda tidak memiliki pendirian akan persoalan-persoalan jajahan, setiap partai memiliki para ahli tentang jajahan, biasanya orang-orang ini yang telah memiliki pengalaman di daerah jajahan yang merupakan penerus dari program partai dalam soal jajahan dan mempertahankanya dalam parleman dan di depan pers. Pada tahun 1900 terdapat banyak partai yang memiliki program tentang tanah jajahan yang sedikit hubungannya dangan kedudukan mereka dalam spectrum politis dari politik dalam negeri. Sepertinya masing-masing partai pada waktu itu seduah bersepakat untuk melaksanakan reorientasi partai colonial yang berprikemanusiaan, tetapi terdapat perbedaan-perbedaan dalam cara dan metode yang diterapkan dlam orientasi ini. Kaum sosialis dan konservatif lebih menunjukan usaha-usaha yang lebih jauh dari keinginan mereka umtuk mengadakan perubahan dalam politik jajahan , kedua pihak ini telah menanggapi ideologi liberal yang sedang berjalan di negeri ini.. pada tahun 1900 tidak ada partai politik yang menunjang putusnya hubungan jajahan antara Jawa dan Negeri Belanda.
Selama 300 tahun menjelang tahun 1900 Belanda telah berada di pulau Jawa. Selama itu mereka hanya melaksanakan beberapa kebijaksanaan dalam jangka waktu yang panjang, dalam mengatur hubungan mereka dengan penduduk pulau ini.
Dasar –dasar setiap pendekatan terhadap dengan ikatan jajahan ini adalah keinginan untuk tetap menjaga hubungan yang sedapat mungkin tidak langsung dan tertanamnya saling pengertian, bahwa hubungan yang terjalin diharapkan dapat memberikan keuntungan kepada Belanda. Perusahaan dagang Belana Hindia Timur (1602-1798) menganggap berkuaasa atas sebagian besar Pulau Jawa untuk melindungi kedudukan perdagangan dan perniagaannya. Tujusn utama dari perusahaan ini adalah untuk mendapatkan dan mengekspor serta menjual hasil-hasil pokok yang tumbuh di Jawa. Pengawasan politik dan administrative menunjang kepentingan ini, dan sebagai akibat sebagai akibatnya secara tidak langsung pengawasan ini selalu berakhir dengan sikap acuh tak acuh. Pada perang Napoleon pengawasan terhadap Pulau Jawa hilang dari Belanda yang di pegang oleh Inggris selama beberapa tahun, dan ketrika mereka menguasai pulau ini pada tahun 1816 mereka mendapatkan bahwa sistem pajak moneter dan sistem pengawasan administrative yang lebih langsung telah berlaku. Belanda berusaha mengubah sistem yang baru dengan sistem yang dahulu, ternyata sistem peralihan ini tidak dapat memberikan keuntungan untuk menutupi biaya yang sangat besar di Jawa dan perang dangan Belgia. Untuk memberikan keuntungan yang lebih banyak sistem Tanam Paksa (cultuur stelsel) pun kembali di berlakukan kembali pada tahun 1830. Sistem ini mengenakan pajak pada tanaman tertentu. Sistem tanam paksa ternyata hancur dalam tahun 1860-an karna tekanan korupsi di dalamnya, tekanan tersebut berasal dari kalangan penguasa swasta dan perhatian akan perniagaan yang telah mendapatkan kekuasan politik yang besar di Negari Belanda, dank arena ambisi pengusaha Eropa di Jawa yang menginginkan berakhirnya pengawasan atas tanah oleh pemerintah sehingga mereka akan mengusahakan keuntungan untuk dirinya sendiri. Alasan rasionalistis di tunjang oleh semakin berkurangnya keuntungan yang di hasilkan sistem ini, sedangkan alas an rasionalistis moral di tunjukan dengan perlakuan-perlakuan yang tidak wajar kepada orang Indonesia. Dalam tahun 1860-an pemerintah mengizinkan masuknya perusahaan-perusahaan swasta masuk ke Pulau Jawa untuk menghindari kekacauan dan kelumpuhan sistem ekonomi.
Sistem tanam paksa mulai di lucuti, mulau pada tahun 1870 hasil utama dari perkebunan-perkebunan di serahkan ke tangan pegusaha-pengusaha swasta, tetapi sisa-sisa terakhir pada sistem itu berakhir pada tahun 1971. Setlah tahun 1870 kebijakan pemerintah Belanda terhadap Jawa di kenal sebagai Politik Liberal. Dengan kebijaksanaan ini Pulau Jawa dan seluruh kepulauan Nusantara terbuka terhadap masuknya modal swasta, kekayaan Pulau Jawa tidak lagi mengalir ke kas Negara, tetapi sebaliknya menguntungkan kelas menengah Belanda yang ikut serta mengatur dan menguasai arus politik di Negeri Belanda. Politik Liberal pemerintah Belanda juga bersifat kemanusiaan yang sangat kuat. Setelah tahun 1870-an usaha-usaha telah di jalankan demi melindungi para petani-petani Indonesia terhadap pengaruh yang sangat leluasa dari ekonomi uang yang bebas berkuasa. Milik atas tanah bagi orang Indonesia di lindungi terhadap penguasaan pihak asing, paling tinggi peminat-peminat yang bukan orang Indonesia hanya dapat menyewa tanah secara kontrak. Pemerintah sipil Eropa di Jawa memberikan perhatian yang bertambah dalam memakmurkan penduduk ini. Walau pun demikian di balik segala penjagaan ini, kemakmuran rakyat Indonesia tampaknya menurun dan ada ketakutan bahwa solidaritas sosial orang Jawa akan terpengaruh olehnya. Baik bagi orang-orang yang menekankan kemiskinan maupun yang memiliki kepentingan keuangan sama-sama prihatin dengan menurunnya kesejahteraan orang Jawa. Yang pertama disebabkan oleh ketidaksanggupan untuk memperbaiki ketidakadilan sosial ekonomi, yang terakhir semakin banyaknya kepentingan akan barang-barang konservatif (Partai Anti-Revolusioner).
Masyarakat Eropa di Jawa tidak hanya prihatin atas merosotnya kemakmuran rakyat Indonesia, tetapi juga sangat tersinggung dengan pengawasan pemerintah yang bener-benar terpusat kepada Bangsa Eropa di Jawa. Masyarakat Eropa yang baru dating tersebut ingin mengurus secara langsung persoalan sendiri dan menuntut dari pemerintah otonomi keuangan yang lebih bebas dan pemerintah local tersendiri di Pulau Jawa. Tetapi ini merupakan suatu tindakan jangka pendek saja untuk membayangkan hak yang sama untuk rakyat Indonesia untuk meningkatkan kemakmuran dan menambah pendidikan akhir akan menuju pada suatu pemerintahan sendiri. Pemerintah yang menguasai keadaan di Jawa pada tahun 1900 adalah pemerintah Hindia Belanda, dan kepadanyalah kelompok orang Eropa di Jawa menuntut otonomi. Pemerintah ini benar-benar suatu pemerintahan terpusat pada kekuasaan tertinggi yang berada di tangan Gubernur Jenderal yang menjadi kepala suatu hirarki administrasi dan yang mempunyai cabang-cabang di distrik setempat. Pemerintah ini telah disusun dan di atur untuk memerintah masyarakat Indonesia. Pemimpin administrasi sendiri sangat prihatin terhadap Bangsa Indonesia, walupu bagian-bagian anggotanya dari kelompok sosial Eropa, dan demikian dapat di tekan dan dapat di pengaruhi oleh kelompok tersebut. Gubernur Jenderal yang di angkat oleh Mahkota Kerajaan atas usul dari Mentri Jajahan. Gubernur Jenderal biasanya bertugas selam lima tahun walupun ini tidak di tentukan oleh satu peraturan dan ada kemungkinan untuk di perpendek atau di perpanjang sesuai dengan keadaan. Gubernur Jendral bertanggung jawab kepada Mahkota Kerajaan untuk menjalankan kebijaksanaan pemerintah jajahan setempat, dia adalh pengusaha jajahan tertinggi. Secara praktis tentu saja dia di harapkan mengukuti peraturan-peraturan dari Mentri Jajahan di Den Haag. Tetapi sebaliknya sebagai orang yang ikut bermain dalam pentas tanah jajahan dia ikut membentuk peraturan-peraturan.
Bertambahnya kekuasaan pemerintahan Banga Eropa ini di damping oleh suatu perubahan di dalam suatu sifat korps. Pemerintah Hindia Belanda tidak lagi menjadi pelarian bagi kelas bawahan dan pengelana Eropa, tetapi diisi oleh anak-anak golongan menengah keluarga Eropa yang berpendidikan baik. Mereka berhasrat untuk mengembangkan kesejahteraan Indonesia, dan dengan alas an ini pula mereka selau tidak sanggup menerima sikap-sikap masa bodoh dan pikiran yang gelap di pihak orang Indonesia sebagai partner mereka. Pada tahun 1900 sekitar 70.000 orang Eropa berada di Jawa. Tetapi hanya seperempatnya saja yang Eropa totok yang lahir di Eropa dan datang ke Jawa, yang seperempat ini kebanyakan adalah para pedagang dan para pengusaha, sebagian besar wakil-wakil dari keuangan dan kebanyakan adalah pegawai sipil Eropa. Kedudukan sebagian besar kaum Indo sebagai bagian dari masyarakat Eropa pada tahun 1900 jauh dari baik. Benar bahwa untuk sebagian, ayah mereka menunjukan keprihatinan dan memberikan pendidikan kepada mereka, mereka dapat menjadi kerani dan tenaga teknis pada kantor-kantor pemerintah dan departemen-departemen atau menjadi tenaga ahli dan tukang di pusat-pusat kota. Mereka yang di katakana bernasib baik mengisi kalangan menengah bangsa Eropa,mereka tidak sanggup menyesuaikan diri dengan kalangan mereka, dan merasa bahwa pemerintah tidak mau memperhatikan mereka sebagi suatu kelompok. Orang Indonesia pada tahun 1900 sampai sekarang mengakui ada dua tingkatan di dalam masyarakat. Kelompok besar yang terdiri dari petani, dan orang desa atau kampong dinamakan rakyat jelata. Administrator, pegawai pemerintahan dan orang-orang Indonesia yang berpendidikan dan berada di tempat yang lebih baik, baik di kota maupun di pedesaan di kenal sebagi elit atau priyayi. Secara teknis kaum ningrat juga merupakan terpisah dari kelompok. Tetapi orang Indonesia seenaknya memasukan mereka kedalam tingkatan priyayi, bagi Indonesia siapa saja yang menjadi rakyat jelata yang dalam beberapa hal memimpin, member pengaruh, mengatur, menentukan masyarakat Indonesia. Setiap tingkatan dari masyarakat Indonesia mempunyai pembaian dan perbedaan pula ke dalam, tetapi setiap kelompok pula merupakan suatu kesatuan yang utuh.
Sekitar 98% orang Jawa termasuk rakyat jelata. Untuk 90% dari mereka itu desa menentukan hidup dan kehidupan mereka. Desa merupakan akar dari pola kehidupan tradisional masyarakat Indonesia dan pada tahun 1900 adalah sukar untuk mengetahui pengaruhnya terhadap rakyat. Desa Indonesia tidak saja menguasai kebutuhan pokok untuk hidup yaitu tanah, tetapi juga mengatur selera dan gaya hidup, mempertahankan budi pekerti tradisional, merupakan sarana dari segi-segi spiritual dan agama dari kehidupan-kehidupan anggotanya, melayani suka duka anggotanya dan mengikat setiap anggota kepada kelompok kedalam suatu solidaritas kelompok. Ikatan kelompok ini yang menjadi dasar kehidupan masyarakat Indonesia. Orang desa pemegang tanah, terutama setumpuk tanah sawah, di anggap merupakan tradisi di anggap sebagai keturunan dari pendiri dan tertua dari desa itu. Pemegang tanah ini pula memiliki tanah dan kebun, mereka umumnya merupakan orang terkaya di desa itu. Hal tersebut mendorong untuk kenaikan jabatan dan derajat di desa itu. Kepala desa, pamong-pamong desa, dan juga sering kali guru-guru dari pemimpin agama semuanya berasal dari kelompok ini. Mereka bias mengusahakan tanahnya atau menyewakan kepada para penyewa, hak khusus untuk memegang tanah tersebut tetap berada pada penduduk inti desa itu.
 Orang desa yang mempunyai kedudukan yang lebih rendah adalah mereka yang tidak mempunyai hak memegang tanah pertanian, tetapi hanya memiliki sebuah rumahdan kebun. Mereka ini bekerja di pabrik yang berdekatan dengan desa atau bertukang, atau mengerjakan tanah orang lain. Secara tradisional mereka adalah keturunan keluarga-keluarga yang pindah ke desa itu sesudah pendududk asli menetap di sana.
Di Negeri Belanda isu mengenali politik etis seakan kurang di hubungkan dengan prinsip-prinsip moral yang nyata di setujui oleh setiap orang, tetapi lebih dikaitkan dengan hubungan yang berdasarkan keuangan antara negara iinduk dengan negara jajahan. Hutang budi yang di cetuskan Van Deventer telah membayangkan bukan hanya sokongan terhadap tanah jajahan yang memerlukan bantuan itu tetapi juga menganjurkan pemisahan antara keuangan negara induk dengan keuangan negara jajahan. Pemilihan umum tahun 1901 mengubah gambarab politik di Negeri Belanda. Partai Liberal yang menguasai politik selama lima pulah tahun telah keluar dari kekuatan politik, hal ini di sebabkan karena mereka sibuk dengan kitab tuntunan (partai liberal memegang proyek-proyek sosial) dan dengan agama (pada pertengahan akhir abad ke Sembilan belas telah di tekankan pendidikan netral dalam agama), telah membuat kelompok kanan dan kelompok agama berkoalisi, yang menetapkan untuk kembali kepada prinsip-prinsip Kristen dan pemerintahan. Bantuan telah di berikan ke dalam usaha negara induk untuk menjalankan kebijakan baru tersebut, ketika dalam bulan September 1902 A.W.F. Indenburg memulai pos menteri urusan jajahan yang telah kosong setelah meninggalnya T.A.J. Van Asch Van Wijk. Indenburg seorang seorang militer yang baru saja kembali dari Timur menunjukan dirinya seorang yang tangguh pada partai Kristen, tetapi telah melakukan usaha yang moderat terhadap perluasan usaha misi di tanah jajahan ini.
Di Hindia Timur pada tahun permulaan abad ke dua puluh, orang telah mulai mengembangkan semangat politik etis. Mereka ini tidak berminat untuk bermain dengan semboyan seperti para politisi negara induk. Di abad ke Sembilan belas sebagian orang Belanda sudah mulai prihatin terhadap kondisi kesejahteraan dan kondisi status pribumi. Mereka telah memperjuangkan usaha-usaha pribadi untuk memperbaiki keadaan. Yang di sebut pelaksana Politik Etis ialah J.H. Abendanon, pada tahun 1900 di anggkat menjadi Direktur Pendidikan di Hindia Timur.
Perang Dunia yang terjadi pada tahun 1914-1918 sangat berpengaruh terhadap Negeri Belanda dan koloni-koloninya. Baik negara induk maupun Hindia Timur tidak secara langsung ikut dalam peperangan. Dengan pembatasan daerah dan penghimpitan satu sama lainnya dengan daerah pelaku perang dan pantainya menghadap ke pelaku yang lainnya, Negara Belanda dengan terpaksa melangkah dengan pelan demi ketentraman. Hubungan dengan daerah kerajaan yang jauh hanya dapat dilakukan melalui laut (belakangan di masa perang ini Belanda akhirnya berhasil mengadakan hubungan telegram dengan Jawa) dan akibat hubungan Negara Belanda dengan tanah jajahan menjadi sangat bergantung kepada penguasa Inggris yang menjadi penguasa lautan. Tekanan perang memaksa Inggris untuk mengurangi dan membatasi kapal-kapal yang netral dengan akibat Hubungan Belanda dengan Hindia Timur menjadi berkurang. Pengaruh perang yang datang tiba-tiba di Asia Timur, walupun tidak merupakan suatu yang menetap menyebabkan bertambahnya kebebasan dari negara induk. Perang ini telah membuahkan hasi yang diharapkan oleh mereka yang mengiingkan kebebasan yang lebih besar dalam perekonomian dan bidang perusahaan, dan majelis-majelis pimpinan dan pengaturan keungan oleh negara induk.
Pemimpin Politik Etis Kolonial sudah lama mengharapkan untuk mengembangkan suatu minat dalam suatu perusahaan dan perniagaan di kalangan Bangsa Indonesia. Tidak adanya “kelas menengah” di Indonesia di bandingkan dengan negara barat merupakan suatu penghalang yang besar dalam membentuk Hindia Timur yang bebas berpolitik dengan masyarakat yang tenang. Banyak usaha kaum etis yang di tunjukan untuk memperkokoh jaringan ekonomi bangsa Indonesia.
Di Indonesia istilah kelas menengah hanya kira-kira dapat di pakai untuk golongan yang memperoleh pendapatan menengah, yang dapat terdiri dari administratur, pemilik tanah, guru, dokter, dan profesi lainnya. Di luar pengaruh dalam bidang administratisi dan ekonomi dari perang dunia pertaman atas tanah jajahan, terdapat pula pengaruh bersifat politik dan kejiwaan. Partisipasi Turki telah menarik minat sejumlah orang Indonesia untuk memihak kepada Jerman. Khusus untuk sejumlah besar anggota Serikat Islam telah menghubungkan keyakinan agamanya untuk menentukan kesetiakawanan. Masyarakat Eropa tidak pernah menentang perasaan seperti ini, sesungguhnya mereka takut akan implikasi Pan Islam, oleh karena itu walupun banyak diantaranya yang bersifat keinggrisan, terdaoat ketakutan besar terhadap sekutu Inggris yaitu jepang. Sikap agresif Jepang tampak jelas, terutama terhadap Cina dan kepadatan penduduk Jepang adalah kekayaan yang dapat di terima. Banyak orang Eropa di Hindia Timur melihat Jepang sebagai suatu ancaman tunggal yang tersebar atas kepulauan Nusantara ini. Kehidupan Indonesia tidak langsung dan tidak sedemikian dalamnya di pengaruhi oleh Perang Dunia sebagaimana kehidupan Barat, kehidupan Indonesia berjalan terus. Hanya di bagian-bagian akhir perang perang tersebut gejolak di Dunia Barat mulai mempengaruhi bagian-bagian masyarakat Indonesia. Revolusi Rusia dan Empat Belas Pasal dari Presiden Wilson, telah mendapat tanggapan dalam masyarakat Indonesia.
Dari luar, keinginan Indonesia tampaknya paling aktif dinyatakan oleh Sarikat Islam dalam tahun-tahun belasan, selam dan sudah Perang Dunia. Mengikuti pertumbuhannya yang cepat sesudah didirikannya di tahun 1912, Sarekat Islam terus berkembang. Organisasi ini pun menyatakan anggotanya berjumlah lebih dari dua juta orang. Tak heran bahwa Serekat Islam adalah gerakan massa di Indonesia. Pemimpi-pemimpin Sarekat Islam adalah bagian dari elit Indonesia yang menarik. Masalah-maslah mereka dan masalah-masalah organisasinya memperjelas perkembangan elit Indonesia pada permulaan abad ke dua puluh. Di Bandung Sarekat Islam didirikan oleh tiga serangkai, Suwardi Suryaningrat, Abdul Muis dan A. Widiadisastra. Organisasi di Bandung, Darmo Lumakso telah didirika oleh saudara Samanhudi, telah dilangkahi demi memusatkan sebuah organisasi yang dikaitkan dengan nama tiga serangkai tersebut. Daereh-daerah kerajaan di Jawa Tengah merupakan tempat lahir Organisasi Sarekat Islam. Samanhudi pencetus yang pertama kali, masih terus berhubungan dengan badan sentral, tetapi pengruh dapat di pastikan berkurang. Organisasi ini telah lama tidak lagi tujuan-tujuannya dan di mata intelektual-intelektual Samanhudi sudak tidak berguna. Pengaruh yang lebih besar di Jawa Tengah telah di pegang oleh Raden Mas Suryopranoto, anggota Kraton Paku Alam dan abang Suwardi. Suara lain yang lebih penting dari daerah Jawa Tengah adalah Ahmad dahlan dari Yogyakarta, pendiri Muhamadiyah, hubungannya tetap erat dengan Sarekat Islam, tetapi lebih menunjukan perhatian kepada Muhamadiyah, yang dengan hati-hati menjauhi aktivitas-aktivitas politik.
Melalui usahanya terdapat hubungan yang erat antara kedua organisasi ini. Muhamadiyah bekerja di bidang kebudayaan, Sarekat Islam di bidang politik satu segi aktivitas Sarekat Islam di daerah-daerah kerajaan ini ialah cepat mundurnya Sarekat Islam di Surakarta, kota kelahirannya dan pergeseran kepemimpinan ke pusat kerajaan lain yaitu Yogyakarta. Rasa sentiment dan perasaan orang Indonesia serta sikap dan politik pemerintah Belanda terhadap Hindia Timur, telah memperhatikan perubahan sepanjang abad ke dua puluh. Tahun 1920 janganlah di anggap menhilangkan pembatasan sikap atau perasaan tertentu. Hal ini tentu menimbulkan hal yang baru, hanya saja berjalan sangat lembat dan dan tampaknya hanya sebagai perubahan saja, apabila dilihat dari sudut pandang sejarah. Apabila ada kebijaksanaan baru oleh pemerintah Belanda, dan tampaknya memang ada. Apabila terdapat sikap-sikap baru orang Indonesia, ini dianggap sebagai modofikasi saja dari pemikiran sebelumnya. Selam atahun 1920-an anggota Sarekat Islam menurun dengan cepat.
Sebagian, sebgaimana telah disebutkan, disebabkan kerusakan-kerusakan yang berhubunngan dengan pemerintah dank arena beberapa pemimpin organisasimendapat reputasi yang tidak baik, akan tetapi sebagian juga di pengruhi oleh sikap masa bodoh para anggotanya. Faktor-faktor ini di tingkatkan oleh kenyataan, bahwa pada sepuluh tahun sebelumnya pemerintah telah jauh bertindak untuk memenuhi kinginan-keinginan dan membatasi kesukaran-kesukaran yang pada dasarnya telah di perhatikan oleh Sarekat Islam. Untuk membentuk suatu kelompok politik yang tangguh pemimpin-pemimpin Sarekat Islam telah memasuki aktivitas sarekat buruh. Hal ini membuat mereka langsung berkompetisi dengan pemimpin-pemimpin komunitas, yang beberapa orang di antaranya tetap menjadi anggota Islam. Sarekat Islam mengadakan reorientasi dirinya kea rah dua macam program aksi. Pertama, kembali pada pokok-pokok ajaran islam, tetapi lebih dari yang sudah-sudah, menekankan kesatuan dan kerjasama semua kaum muslim suatu konsep yang biasanya dinamakan Pan Islamisme.
Partai komunisme yang sama sekali tidak mengharapkan sesuatu dari pemerintah, berminat dalam politik pemerintahan hanya dalam politik pemerintahan hanya sepanjang dimunginkan untuk melakukan penyimpangan dan bertambahnya unsur-unsur ketidakpuasan, karean disinilah komunis berusaha mendapatkan dukungan dari mereka. Dengan kembalinya Samaun dari Rusia partai ini mulai di bina kembali politik pemerintah cukup membangkitkan ketidak puasan sehingga membuat kelompok-kelompok tertentu menerima doktrin dari komunis, lebih daripada yang sudah-sudah, tetapi pendukung utama komunis tetap datang dari unsur revolusioner di daerah perkotaan.
Elit fungsional pada umumnya malahan tetap berada di dalam lingkungan hidup Indonesia, tetap menerima pendidikan yang terbaik dari barat. Ide yang ada adalah agar mereka bergerak keatas, ke arah elit, dan agar elit pada gilirannya turun ke bawah pada masa itu, jadi mengadakan hubungan dan membentuk sintesa budaya akan merangkum semua masyarakat Indonesia, dan bukan semua penduduk Hindia Timur. Proses ini di mulai dengan adanya dewan kabupaten di satu pihak dan perluasan otonomi desa di pihak lain. Sekali di mengerti bahwa kebijakan politik baru Kolonial berlandaskan pengakuan atas dualisme, pemeritah dengan politik baru ini menyetujui sepenuhnya tentang aktivitas Sutomo dengan menggabungkan diri sebagai satu jalan untuk memajukan orang Indonesia yang berorientasi Barat.
            Tujuan dan maksud dari politik baru tersebut tidak semuanya menjadi kenyataan, tergantung kepada sejumlah faktor yang berada di luar lingkup studi ini. Tidak akan pernah dapat di tentukan kapan politik baru ini dengan dualismenya akan dapat berhasil dalam memecahkan masalah Kolonial, baru saja politik baru ini berjalan, depresi dunia datang menyala. Depresi menghancurkan rencana dan kebijaksanaan di segala bidang. Namun pada saat perumusannya, politik baru merupakan usaha yang tulus dalam mencari jawaban terhadap salah satu masalah peradaban Barat yang paling tajam, bagaimana menghadapi tanah jajahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar