Dalam buku ini Geertz membangun kerangka studi sejarah sosial yang ecologis, etnografis, sosiologis dari bentuk perdaban asli Indonesia. Buku tersebut ditulis oleh Geertz dengan menggunakan pendekatan strukturis. Penggunaan model pendekatan strkturis nampak dalam buku ini dapat dilihat dalam hal-hal berikut :
Ontology realisme yang menyatakan bahwa masyarakat terbentuk dalam sebuah struktur yang longgar (lostly integrated). Dalam struktur yang longgar akan menunjukkan bahwa perubahan terjadi bukan disebabkan oleh struktur luar, akan tetapi disebabkan oleh struktur dari dalam yaitu tindakan-tindakan kongkret dan observable dari manusia (individu atau kolektifitas) yang dengan sengaja mengubah peran, aturan, intreraksi berdasarkan pemikiran tertentu. Struktur yang longgar nampak sekali pada struktur masyarakat Bali baik individu maupun kelompok yang masing-masing melakukan peran dan tindakan kongkret. Peran dan tindakan ini akan nampak terutama pada upcara-upacara keagamaan, yang masing-masing memerankan fungsinya. Seperti bagaimana peran rakyat, para bangsawan, pendeta dan raja. Dari tindakan-tindakan dan peran-peran tersebut maka akan terlihatlah apa arti dari negara teater, sebagai sebuah pertunjukkan.
Geertz dengan pendekatan yang hermenuetik berhasil menemukan struktur sosial pada masyarakat Bali. Struktur sosial ini bersifat “emergence” akan nampak manakala dilakukan upacara ritual keagamaan. Pada upacara kegamaan inilah peran-peran, aturan-aturan, pola interaksi dan pemikiran mentalitie dapat ditemukan. Dengan pendeketan hermenuetik yang simbolik Geertz dapat menemukan pemahaman arti sebuah upacara keagamaan seperti yang ia contohkan dalam upacara ngaben. Dalam pemikiran akal yang sehat, pembakaran mayat adalah suatu tindakan yang tidak beradab. Akan tetapi, dengan memahami unsur mentalitie yang ada pada masyarakat Bali, makna upacara ngaben ini dapat dipahami secara simbolik.
Mentalitie dalam pengertian pendekatan strukturis adalah bagaimana mereka memahami diri mereka sendiri dan dunia mereka dan bagaimana mereka mengekspresikan diri sendiri melalui agama, ritus-ritus, busana, musik dan sebagainya. Upacara keagamaan merupakan bentuk dari upacara negara. Upacara negara bukanlah suatu kultus negara. Upacara itu merupakan suatu argumen, yang dinyatakan berulang-ulang kali dalam kosakata ritual yang terus menerus, bahwa status duniawi memiliki dasar kosmik, bahwa hierarki adalah asas yang mengatur semesta alam, dan bahwa pengaturan-pengaturan kehidupan manusia hanyalah tiruan-tiruan yang mendekati lebih atau kurang dekat kepada aturan-aturan kehidupan dewata.
Contoh yang lain adalah bagaimana cara memahami seorang janda raja yang ditinggal mati oleh suaminya. Pada saat upacara ngaben janda tersebut harus ikut membakar diri ketika suaminya dibakar. Pada saat menjelang meloncat ke bakaran api, janda tersebut tidak sedikitpun menunjukkan muka kesedihan, dia begitu riangnya bahkan dia merias diri. Tindakan janda tersebut secara akal sehat dapat dikatakan pula suatu tindakan biadab. Akan tetapi dengan memahami “mentalitie” masyarakat Bali, tindakan janda tersebut merupakan suatu tindakan yang luhur. Dia menunjukkan kesetiaan yang tinggi pada suami. Melompat pada api, menunjukkan dia akan menuju alam surga yang penuh dengan kedamaian. Sehingga roman muka yang ditampilkan adalah keceriaan. “Causal mechanism” dapat ditemukan dengan ditemukannya struktur sosial.
Dalam “causal mechanism” akan mempertanyakan mengapa orang Bali melakukan upacara keagamaan seperti upacara ngaben tersebut. Maka jawabannya dapat ditemukan dengan mengetahui unsur “mentalitie”nya. Unsur “agency” dalam karya Geertz dapat ditemukan yaitu pada peran rakyat, pendeta, bangsawan, dan raja. Raja dalam sebuah upacara keagamaan berperan sebagai sutradara dan sekaligus juga pemainnya. Begitu juga rakyat dan kelompok sosial lainnya menjadi pemain dalam pertunjukkan upacara keagamaan. Peran dan tindakan yang dimainkan oleh masing-masing, menunjukkan adanya kekuatan dari masing-masing untuk mengubah struktur.
Dalam memahami realitas sosial Geertz menggunakan pendekatan hermeneutik yang simbolik. Dalam hal ini Geertz memahami bahasa. Sebagaimana telah dikemukakan, dalam pandangan Geertz bahasa melambangkan struktur sosial. Ritus-ritus keagamaan mengandung ungkapan bahasa. Upacara kegamaan merupakan simbol terbentuknya apa yang dinamakan negara. Dalam upacara unsur-unsur simbolik banyak diungkap oleh Clifford Geertz. Sebagai contoh dalam upacara ngaben, seperti. bentuk-bentuk peti mati yang digunakan memiliki simbol strata sosial,. Pendeta dibakar dalam peti mati kerbau, bendoro tinggi dalam singa bersayap, bendoro rendah dalam kijang, rakyat jelata dalam binatang mitologis berkepala gajah berbuntut ikan.
Menurut Greetz Negara Bali adalah suatu representasi dari bagaimana realitas itu ditata; sebuah sosok yang sangat besar tempat di mana benda-benda seperti keris, bangunan-bangunan (seperti istana), praktik-praktik seperti kremasi, gagasan-gagasan (seperti dalem), dan perbuatan (seperti bunuh diri dinastik), mendapatkan kekuatan seperti yang mereka miliki itu.
Akhirnya bisa kita pahami, bahwa negara di Bali bukanlah suatu tirani, bukan pula suatu birokrasi hidrolik, dan bahkan bukan pula suatu pemerintahan. Melainkan sebuah pertunjukkan (teater) yang diorganisir. Suatu negara teater yang dipakai untuk mendaramatisir obsesi-obsesi klas yang berkuasa atas budaya Bali: ketimpangan sosial, dan kebanggaan status. Dan negara teater ini paling jelas tergambar dalam diri citra induk dari kehidupan politis, yaitu dalam diri raja.
Dari buku Negara Teater kita tahu bahwa di Bali upacara adalah bagian hidup masyarakat yang sudah ada secara turun-temurun dan terutama dipelihara oleh penguasa sebagai alat peraga untuk "menampakkan diri". Makin hebat upacara yang diselenggarakan, pada zaman kerajaan-kerajaan abad ke-19 itu, kian memberi kesan bahwa penguasanya besar wibawanya. Cara "menampakkan diri" si penguasa dengan menggunakan berbagai upacara tersebut, sampai kini masih bisa ditemukan di mana pun.
makasih, lumayan untuk memahami isi buku
BalasHapus